Kamis, 13 September 2012

Cerpen : Last Memories




CERPEN: LAST MEMORIES


Aku terduduk bisu dalam kesunyian. Keadaan gelap tidak memengaruhi penglihatanku. Wanita itu masih berdiri disana. Tepat didepanku. Menatapku dengan tatapan kosong. Tanpa berkata-kata. Aku tak tahu berada dimana. Aku hanya terbangun dan mendapati wanita ini sedang berdiri didepanku. Tepat 5 menit yang lalu. Ingatanku baru saja pulih. Aku terbangun dengan keadaan tak dapat bergerak. Aku dikunci oleh tatapan mata yang mengiris jantungku pelan. Tatapan mata kesedihan.
Wanita itu adalah Ibuku. Ibu yang bertahun-tahun meninggalkanku dan tiba-tiba datang kembali berbekalkan orang-orang suruhan untuk menyekapku diruangan gelap ini. Aku tak tahu apa maksud semua ini. Bukannya seharusnya seorang Ibu datang dan memeluk anaknya dengan rasa kasih sayang? Tapi kenapa hal yang terjadi kepadaku berbeda?
Suara decitan pintu menyadarkanku dari lamunanku. Ibu berbalik kearah pintu yang perlahan-lahan terbuka lebar. Pria bertubuh jangkung berdiri ditepat didepan pintu. Sorot matanya seakan-akan memancarkan tatapan sedih sekaligus bahagia. Posisinya yang membelakangi matahari membuat wajahnya terlihat seram akibat minimnya sinar matahari yang menyinari wajah pria ini.
Pria itu berjalan pelan menuju Ibu yang menatapnya dengan tatapan heran. Tidak, Pria itu tidak berjalan kearah Ibu. Melainkan kearahku. Tepat dihadapanku orang itu berhenti. Menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Air mata perlahan turun dari matanya yang terlihat jelas berwarna coklat. Aku tak tahu siapa Pria ini dan mengapa ia datang hanya untuk menunjukkan air matanya dihadapanku.
“Anda siapa?” tanyaku kepada Pria yang sedang menyeka air matanya itu. Mungkin perbuatanku ini cukup berani dikarenakan posisiku sebagai ‘sandera’ Ibuku.
“Apa kau melupakanku, gadis kecil?” tanyanya kembali. Aku menaikkan alisku mencoba mencerna nada suaranya. Sangat mirip dengan suara orang yang ‘pernah’ kukenal dulu.
Aku memilih untuk tidak menjawab. Aku terdiam sekali lagi. Menutup mulutku rapat-rapat dan berfikir apa yang terjadi sebenarnya disini. Mengapa semua ini menjadi begitu rumit? Aku sudah terbiasa hidup tanpa seorang Ibu. Dan kini Ibu datang kembali membawa semua kenangan pahit selama aku hidup bersamanya.
“Sudahlah, Doni. Memorinya belum pulih seutuhnya. Lebih baik kita bawa dia keruangan yang lebih nyaman daripada ruangan ini” Ibu menekankan nada suaranya pada kata ‘lebih nyaman’. Aku merasa takut untuk menurutinya, tetapi apa daya, badanku terasa lemas dan tak bisa bergerak. Doni –seperti itulah Ibu memanggilnya, membantuku berjalan. Aku meliriknya sebentar. Sepetinya aku mengetahui siapa orang ini.
•••
            Setidaknya ruangan ini masih lebih baik daripada yang sebelumnya. Lampu yang remang-remang. Kasur yang tidak ada empuknya sama sekali. Kaca jendela ventilasi udara yang letaknya tidak terlalu tinggi dari jangkauanku memberiku satu petunjuk dimana aku sekarang. Sepertinya dilantai 2 sebuah rumah tua yang tidak pernah dibersihkan. Dan dihadapan pepohonan lebat yang membuatku seakan-akan berada ditengah-tengah hutan yang berada diatas gunung.
Aku meneliti setiap sudut ruangan ini. Terlihat seperti kamar biasa. Tanpa keanehan. Hanya saja pintu yang terlalu tinggi, ventilasi udara yang terlalu rendah, dan bantal yang tersedia hanyalah guling.
“Tok… Tok… Tok…” aku tersadar dari lamunanku dan melirik tajam kearah pintu. Doni masuk membawa makanan. Aku masih meliriknya tajam.
“Santai saja, kau tak perlu takut disini, Dyana”
“Da… Darimana kau tahu namaku?!”
“Kau melupakanku, eh?”
“Cukup basa basinya! Yang aku ingin tahu, siapa kau?!”
“Aku Doni, that’s what you want, right?
“BODOH!! Kau siapa?! Apa yang kau mau dariku?!”
“Jangan terbawa emosi, aku tak menginginkan apa-apa darimu. Aku hanya diperintahkan untuk membawa makanan ini untukmu. Jadi, makanlah sebelum kau memintanya”
Sikapnya terlalu dingin untuk diteliti. Sekarang ia menggunakan kacamata bergagang coklat, warna yang sama seperti warna matanya. Dan warna yang sama dengan warna mata orang yang pernah kulihat. Orang yang menarikku dari jalan setapak dan menyuruhku masuk kedalam mobil Nissan Juke-nya sebelum aku mengatakan sepatah kata selain meringis kesakitan.
Aku meringkuk dalam kedinginan. Berusaha mendapat kehangatan dari telapak tangan yang kugosokkan satu-sama lain. Memeluk diriku sendiri. Aku menggigil. Tak pernah aku merasakan kedinginan yang sangat mencekam ini. Sangat-sangat mencekam.
“Tok… Tok… Tok…” sekali lagi pintuku diketuk. Membuat kedinginanku semakin menjadi-jadi. Seseorang yang tak asing dimataku berjalan kearah tempat tidur yang kupakai sebagai tempat duduk.
“Dyana…” ucap wanita itu.
Aku tak menjawab. Menatap matanya adalah jalan untuk mencari kebenaran.
“Bagaimana kabar Ayahmu?”
“Dia baik”
“Apa yang membuatmu begini, Nak? Kenapa kau begitu membenciku?” matanya mulai membuat genangan berlian-berlian putih.
“Apa maksudmu?”
“Apa Ayahmu yang membuatmu begini?”
“Tunggu, Ibu. Aku sama sekali tak membencimu. Kau salah paham, bahkan aku sangat merindukanmu. Aku hanya kecewa akibat acara kedatanganmu begitu rumit”
“Mengapa kau membawaku ketempat seperti ini? Bukankah hanya bicara akan membereskan semuanya? Berbicara berdua, hanya aku dan kau, Ibu” lanjutku. Ibu tercekat dengan perkataanku.
Ibu memelukku dengan hangat. Menghilangkan semua rasa dingin yang mencekamku. Hanya kehangatan kasih sayang seorang Ibu yang meninggalkanku selama 5 tahun. Ya, aku sangat merindukannya.

Read another cerpen : indri.wordpress

Tidak ada komentar:

Posting Komentar